Jurusan 1. Geologi Pertambangan (Geoper), 2. Teknik Perminyakan (TP), 3. Teknik Kendaraan Ringan (TKR), 4. Teknik Alat Berat (TAB), 5. Rekayasa Perangkat Lunak (RPL), Teknik Instalasi Listrik (TIL) Alamat : Jl. Mawar III No. 27 RT. XIII Kel. Sukarame Tenggarong Kutai kartanegara Kaltim 75514, Telepon/Fax 0541-661329,7915211 Seluler : 081257490934, email: smk_geoper_tgr@yahoo.com, Website : www.smk-geoper-tgr.tk
Minggu, 27 Oktober 2013
Rabu, 16 Oktober 2013
SMK GEOPER TERAPKAN KBM SEMI DIKLAT MULAI TAHUN AJARAN 2013-2014
Tenggarong, GeoperNews,
SMK Geologi Pertambangan Tenggarong mulai tahun ajaran 2013 - 2014 mengimplementasikan sistem KBM Semi Diklat sehingga tingkat kehadiran siswa dan guru bisa terkontrol dan tidak ada lagi jam - jam kosong di sekolah. Sistem ini dikawal oleh 4 orang petugas semidiklat yang mengawal KBM dari awal sampai akhir mulai pembelajaran guru sampai ketertiban siswa, didukung lagi oleh 5 orang guru piket stand by setiap hari mulai guru adapatif, normatif dan produktif siap menggantikan jam kosong jika ada guru yang berhalangan hadir.
Pantauan GeoperNews setelah 2 bulan penerapan sistem semi diklat ini, keberhasilan KBM, ketepatan waktu guru mengajar, kehadiran guru mengajar bisa ditingkatkan dari 80% menjadi 98%.
Keberhasilan pola KBM semi diklat ini sangat dirasakan oleh para siswa siswi Geoper, Sekarang Pak sudah hampir tidak ada jam kosong, semua pelajaran teratur ditunjang lagi dengan adanya ssistem bel sekolah elektronik yang sangat tepat waktu.
Kepala Sekolah SMK Geoper Andi Jusjaya Bausad, ST, sangat senang sistim ini berhasil menjaga KBM mendekati 100%, dan sistem ini setiap bulan akan terus kita evaluasi kehandalannya dan diperbaiki kekurangannya. sejauh ini sistem ini sangat efektif karena sebagian guru guru kami adalah para praktisi pertambangan dan teknik kendaraan ringan serta alat berat sehingga kami menerapkan sistim outsourcing untuk mereka dimana mereka tidak bisa stand by di SMK setiap waktu.
Kunci dari sistem ini adalah komunikasi dengan guru dengan sistem pengingatan dini, dengan sms dan panggilan yang intensif sehingga guru tidak lupa dan selalu ingat tugas mengajarnya di sekolah.
SMK Geoper dengan sistem pembelajaran yang efektif dan praktikum yang tepat komprehensif telah nyata mewujudkan dirinya sebagai sekolah Unggulan dan Berprestasi di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kalimantan Timur.
Selasa, 15 Oktober 2013
SMK GEOPER TERIMA DONASI 2 MESIN MOTOR YAMAHA
Tenggarong – Sebagai wujud kepedulian YAMAHA terhadap dunia Pendidikan
di Indonesia, YAMAHA memberikan donasi berupa mesin kepada beberapa SMK.
Kegiatan donasi YAMAHA terhadap SMK ini adalah sebagai salah satu kegiatan CSR (Corporate
Social Responsbility) dalam upaya menunjang pembelajaran praktek kepada
siswa di Sekolah sehingga terjadi link and match antara dunia pendidikan
dan dunia industri. Untuk Wilayah Kalimantan Timur pemberian donasi ini
dilaksanakan pada tanggal 26 September 2013 bertempat di SMK 2 Tenggarong,
Jl. Ahmad Dahlan, Tenggarong. Dalam acara ini donasi diberikan langsung
oleh Pimpinan PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing, Henry Gani.
Pemberian donasi dari YAMAHA kepada
SMK sudah menjadi agenda tahunan dan menjadi langkah awal untuk kerjasama
selanjutnya. Meskipun demikian untuk kelajutan kerjasama ini tetap
melalui proses penilaian dan evaluasi terhadap jaringan SMK yang bekerjasama
dengan YAMAHA. Penilaian yang dilakukan meliputi status Akreditasi, jurusan
sepeda motor, Unit praktek yang digunakan, keseriusan SMK dalam pengembangan
Jurusan, keterlibatan SMK dalam aktivitas YAMAHA, dan pemanfaatan serta
pengembangan unit Donasi
Pada donasi tahun ini, untuk wilayah
Kalimantan Timur terpilih sebanyak 18 SMK yang diberikan donasi. SMK N 20
Samarinda, SMK N 12 Samarinda, SMK N 10 Samarinda, SMK Cendana DDI, SMK N 11
Samarinda, SMK PGRI 5 Samarinda, SMK N 19 Palaran, SMK Darussalam Samarinda,
SMK N 1 Balikpapan, SMK Ibnu Khaldun Balikpapan, SMK Setia Budi Balikpapan, SMK
N 1 Penajam, SMK Pelita Gama Penajam, SMK N 2 Tenggarong, SMK Geologi
Pertambangan Tenggarong, SMK Utama Samboja, SMK N 2 Tanah Grogot, SMK N 3 Tanah
Grogot. Donasi yang diberikan berupa 36 unit Mesin Sepeda Motor
Yamaha
Dalam rangkaian kegiatan tersebut,
juga diadakan seminar dan workshop mengenai teknologi Injeksi yang diaplikasikan
pada sepeda motor YAMAHA serta perawatannya. Guru dan siswa diberikan
kesempatan untuk mempelajari dan mempraktekkan perawatan motor injeksi
menggunakan peralatan yang selama ini sudah tersedia di bengkel resmi YAMAHA.
Sebagai pembuktian bahwa perawatan FI YAMAHA, MUDAH dan MURAH
Dengan adanya kegiatan donasi
tersebut di atas diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap
perkembangan dunia pendidikan di SMK terutama jurusan Otomotif Teknik Sepeda
Motor.
Alian Noor
Manager Service PT Surya Timur Sakti Jatim
Main Dealer Yamaha Kalimantan Timur
Salam semakin di depan
Suparnen
dan Katmi merasa hidup di Desa Pager Lor, Kecamatan Sudimoro, Kabupaten
Pacitan, Jawa Timur, tidak memberi harapan. Pulau Jawa yang dirasa
sudah padat penduduk dianggap sudah tidak mampu memberi penghidupan yang
layak. Untuk menyiasati yang demikian, pada tahun 1982, mereka
memutuskan untuk ikut program transmigrasi.
Mereka ikut program pemerintah itu dengan alasan mendukung program penyebaran penduduk, penghasilan di tempat asal tidak mencukupi, serta di daerah tujuan transmigrasi masih banyak tanah-tanah yang luas dan belum digarap, ini merupakan sebuah peluang. Akhirnya ia bersama dengan 50 kepala keluarga lainnya, ikut program transmigrasi yang diadakan oleh pemerintah dengan penempatan di Desa Jonggon Jaya, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai (belum pemekaran), Kalimantan Timur.
Ketika tiba di Jonggon Jaya, keadaan desa itu masih dalam proses pembukaan lahan, pohon-pohon hutan masih ditebangi. Selepas penebangan hutan, lahan-lahan yang akan dicetak menjadi sawah itu masih berupa tanah lapang dengan timbunan potongan batang dan ranting yang masih berserakan. Di lahan bekas hutan itulah para transmigran dijatah 1 ha untuk sawah dan 0,5 ha untuk bangunan rumah dan pekarangan. Lahan hasil pembagian itu oleh para transmigran dicetak menjadi sawah sendiri.
Meski mencetak sawah sendiri hal demikian tidak menjadi masalah bagi para transmigran, dengan suka rela mereka mengerjakan demi masa depannya. Begitu lahan sudah menjadi sawah, para transmigran menanami dengan padi jenis IR64 dan jenis lain. Panen padi di Jonggon Jaya hasilnya bervariasi, sebab sawah di desa itu bukan sawah dengan sistem pengairan irigasi, seperti di Jawa atau Bali, namun sawah dengan pengairan tergantung pada curah hujan atau dikenal dengan sebutan sawah tadah hujan. Jadi tergantung pada iklim yang ada. Bila dalam keadaan normal, luas sawah 1 ha menghasilkan panen 4 ton. Pada saat itu hasil panen tidak dijual perkilo namun perkuintal. Satu kuintal harganya Rp450.000, jadi sekali panen menghasilkan Rp4,5 juta. Itu bila panen dalam keadaan normal. Namun bila dalam keadaan tidak normal, dengan kendala seperti banjir, curah hujan rendah, diserang hama tikus atau wereng, hasilnya hanya 2 ton, 1 ton, bahkan kurang dari 1 ton.
Untuk mengatasi yang demikian, Suparnen melakukan kegiatan beternak. Ternak yang diusahakan itu seperti ternak sapi, itik, dan ayam. Dalam beternak sapi, ia menggunakan sistem gaduh, yakni memelihara ternak orang kemudian bila ternak itu beranak maka anaknya dibagi. Dari sistem gaduh ini sungguh sangat luar biasa, ia bisa memiliki sapi hingga 5 ekor. Harga jual per ekor Rp5 juta hingga Rp10 juta. Dari penjualan sapi inilah Suparnen bisa membangun atau memperbaiki rumah pemberian pemerintah.
Bila dari hasil sawah cukup untuk makan sehari-hari, maka dari beternak sapi, rumah Suparnen bisa lebih mentereng. Tak hanya itu Suparnen pun juga mempunyai peternakan ayam, jumlah ayamnya mencapai 30 ekor dan itiknya juga 30 ekor. Ia pun juga berkebun dari sisa lahan yang ada dengan menanami sayur-sayuran.
Saat berangkat dari Pacitan, Suparnen dan Katmi hanya memiliki satu anak, namanya Suroso, setiba di Jonggon Jaya, anaknya bertambah 2, yakni Samsul Arifin dan Rudi Santoso. Dari penghasilan pertanian dan peternakan yang digeluti, Suparnen mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Suroso sekolah di SD 028 Loa Kulu, SMP 03 Loa Kulu, SMKN 6 Samarinda, dan kuliah di Universitas Kutai Kartanegara Jurusan Geologi dan Pertambangan. Di kalangan mahasiswa di Tenggarong, Suroso merupakan sosok yang popular, sebab ia pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Tenggarong. Sedang Samsul Arifin sekolah di SD 028 Loa Kulu, SMP 03 Loa Kulu, dan SMK 2 Tenggarong. Saat ini Samsul Arifin sudah menikah dan bekerja di perusahaan pembiayaan. Sedang Rudi Santoso sekolah di SD 02 Loa Kulu, SMP 03 Loa Kulu, dan saat ini masih sekolah di SMK Geologi dan Pertambangan Tenggarong.
Setahun yang lalu Suparnen meninggal dunia, sekarang istrinya, Katmi tinggal bersama Suroso dan Rudi Santoso. Suroso-lah yang saat ini meneruskan dan mengembangkan usaha orangtuanya. Menurut Suroso saat ini penduduk di Jonggon Jaya mulai beralih dari menanam padi di sawah ke perkebunan sawit dan karet. Perkebunan karet dan sawit dibuka dengan tidak mengganti sawah menjadi kebun sawit dan karet, namun dengan memperluas lahan atau membeli lahan baru. Dikatakan oleh Suroso bahwa keluarganya sekarang memiliki 1 ha kebun sawit. Dari perkebunan ini ia bisa memanen 2 minggu sekali dengan sekali panen memperoleh 4 kuintal. Perkilonya Rp600. Jadi sekali panen mendapat Rp240.000.
Suroso sendiri saat kuliah sudah mulai berwiraswata seperti mendirikan usaha pengetikan dan internet di Kota Tenggarong bahkan pernah berjualan minuman es campur di taman di samping Sungai Mahakam. “Sekarang mulai mengembangkan usaha menjadi kontraktor kontruksi, walau disebutkan masih kecil-kecilan,” ujarnya.
Sebagai anak seorang transmigran, Suroso menyebut ada 2 hal penting dalam transmigrasi. Pertama, secara umum transmigrasi memberi dan mempunyai peluang untuk mengubah perekonomian masyarakat. Pemerintah telah menyediakan lahan kepada para transmigran sebagai peluang untuk mengubah kehidupan yang ada. Kedua, sukses atau tidaknya transmigran, semuanya juga tergantung kepada individu mereka. Program transmigrasi bukan program sim salabim atau mengubah sesuatu dengan cepat. Mereka, para transmigran, harus bekerja keras dan inovatif. “Orangtua saya dulu sebagai petani dan karena berada di sawah maka harus bekerja keras,” ujarnya. Diakui bila tidak mau bekerja keras maka transmigran itu akan gagal bertahan dan selanjutnya kembali ke Jawa. “Dari 100 kepala keluarga transmigran, biasanya ada 10 kepala keluarga yang balik ke Jawa,” ungkapnya.
Lebih lanjut diungkapkan dari penempatan transmigran di sebuah daerah membuat daerah itu bisa berkembang. Diakui ketika pertama kali tiba di Jonggon Jaya, listrik belum ada. Sekarang listrik sudah ada dan jalan-jalan dari rumahnya ke Kota Tenggarong sudah diaspal sehingga tidak susah lagi kalau mau belanja atau jalan-jalan ke Kota Tenggarong, Samarinda bahkan Balikpapan. “Dari semua itu program transmigrasi mampu menciptakan peluang lapangan kerja dan ekonomi baru,” ujarnya.
Ardi Winangun
Penulis adalah Seorang Wartawan - See more at: http://suar.okezone.com/read/2012/10/31/58/711457/mengubah-hidup-dengan-transmigrasi#sthash.kP2AyYeY.dpuf
Mereka ikut program pemerintah itu dengan alasan mendukung program penyebaran penduduk, penghasilan di tempat asal tidak mencukupi, serta di daerah tujuan transmigrasi masih banyak tanah-tanah yang luas dan belum digarap, ini merupakan sebuah peluang. Akhirnya ia bersama dengan 50 kepala keluarga lainnya, ikut program transmigrasi yang diadakan oleh pemerintah dengan penempatan di Desa Jonggon Jaya, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai (belum pemekaran), Kalimantan Timur.
Ketika tiba di Jonggon Jaya, keadaan desa itu masih dalam proses pembukaan lahan, pohon-pohon hutan masih ditebangi. Selepas penebangan hutan, lahan-lahan yang akan dicetak menjadi sawah itu masih berupa tanah lapang dengan timbunan potongan batang dan ranting yang masih berserakan. Di lahan bekas hutan itulah para transmigran dijatah 1 ha untuk sawah dan 0,5 ha untuk bangunan rumah dan pekarangan. Lahan hasil pembagian itu oleh para transmigran dicetak menjadi sawah sendiri.
Meski mencetak sawah sendiri hal demikian tidak menjadi masalah bagi para transmigran, dengan suka rela mereka mengerjakan demi masa depannya. Begitu lahan sudah menjadi sawah, para transmigran menanami dengan padi jenis IR64 dan jenis lain. Panen padi di Jonggon Jaya hasilnya bervariasi, sebab sawah di desa itu bukan sawah dengan sistem pengairan irigasi, seperti di Jawa atau Bali, namun sawah dengan pengairan tergantung pada curah hujan atau dikenal dengan sebutan sawah tadah hujan. Jadi tergantung pada iklim yang ada. Bila dalam keadaan normal, luas sawah 1 ha menghasilkan panen 4 ton. Pada saat itu hasil panen tidak dijual perkilo namun perkuintal. Satu kuintal harganya Rp450.000, jadi sekali panen menghasilkan Rp4,5 juta. Itu bila panen dalam keadaan normal. Namun bila dalam keadaan tidak normal, dengan kendala seperti banjir, curah hujan rendah, diserang hama tikus atau wereng, hasilnya hanya 2 ton, 1 ton, bahkan kurang dari 1 ton.
Untuk mengatasi yang demikian, Suparnen melakukan kegiatan beternak. Ternak yang diusahakan itu seperti ternak sapi, itik, dan ayam. Dalam beternak sapi, ia menggunakan sistem gaduh, yakni memelihara ternak orang kemudian bila ternak itu beranak maka anaknya dibagi. Dari sistem gaduh ini sungguh sangat luar biasa, ia bisa memiliki sapi hingga 5 ekor. Harga jual per ekor Rp5 juta hingga Rp10 juta. Dari penjualan sapi inilah Suparnen bisa membangun atau memperbaiki rumah pemberian pemerintah.
Bila dari hasil sawah cukup untuk makan sehari-hari, maka dari beternak sapi, rumah Suparnen bisa lebih mentereng. Tak hanya itu Suparnen pun juga mempunyai peternakan ayam, jumlah ayamnya mencapai 30 ekor dan itiknya juga 30 ekor. Ia pun juga berkebun dari sisa lahan yang ada dengan menanami sayur-sayuran.
Saat berangkat dari Pacitan, Suparnen dan Katmi hanya memiliki satu anak, namanya Suroso, setiba di Jonggon Jaya, anaknya bertambah 2, yakni Samsul Arifin dan Rudi Santoso. Dari penghasilan pertanian dan peternakan yang digeluti, Suparnen mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Suroso sekolah di SD 028 Loa Kulu, SMP 03 Loa Kulu, SMKN 6 Samarinda, dan kuliah di Universitas Kutai Kartanegara Jurusan Geologi dan Pertambangan. Di kalangan mahasiswa di Tenggarong, Suroso merupakan sosok yang popular, sebab ia pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Tenggarong. Sedang Samsul Arifin sekolah di SD 028 Loa Kulu, SMP 03 Loa Kulu, dan SMK 2 Tenggarong. Saat ini Samsul Arifin sudah menikah dan bekerja di perusahaan pembiayaan. Sedang Rudi Santoso sekolah di SD 02 Loa Kulu, SMP 03 Loa Kulu, dan saat ini masih sekolah di SMK Geologi dan Pertambangan Tenggarong.
Setahun yang lalu Suparnen meninggal dunia, sekarang istrinya, Katmi tinggal bersama Suroso dan Rudi Santoso. Suroso-lah yang saat ini meneruskan dan mengembangkan usaha orangtuanya. Menurut Suroso saat ini penduduk di Jonggon Jaya mulai beralih dari menanam padi di sawah ke perkebunan sawit dan karet. Perkebunan karet dan sawit dibuka dengan tidak mengganti sawah menjadi kebun sawit dan karet, namun dengan memperluas lahan atau membeli lahan baru. Dikatakan oleh Suroso bahwa keluarganya sekarang memiliki 1 ha kebun sawit. Dari perkebunan ini ia bisa memanen 2 minggu sekali dengan sekali panen memperoleh 4 kuintal. Perkilonya Rp600. Jadi sekali panen mendapat Rp240.000.
Suroso sendiri saat kuliah sudah mulai berwiraswata seperti mendirikan usaha pengetikan dan internet di Kota Tenggarong bahkan pernah berjualan minuman es campur di taman di samping Sungai Mahakam. “Sekarang mulai mengembangkan usaha menjadi kontraktor kontruksi, walau disebutkan masih kecil-kecilan,” ujarnya.
Sebagai anak seorang transmigran, Suroso menyebut ada 2 hal penting dalam transmigrasi. Pertama, secara umum transmigrasi memberi dan mempunyai peluang untuk mengubah perekonomian masyarakat. Pemerintah telah menyediakan lahan kepada para transmigran sebagai peluang untuk mengubah kehidupan yang ada. Kedua, sukses atau tidaknya transmigran, semuanya juga tergantung kepada individu mereka. Program transmigrasi bukan program sim salabim atau mengubah sesuatu dengan cepat. Mereka, para transmigran, harus bekerja keras dan inovatif. “Orangtua saya dulu sebagai petani dan karena berada di sawah maka harus bekerja keras,” ujarnya. Diakui bila tidak mau bekerja keras maka transmigran itu akan gagal bertahan dan selanjutnya kembali ke Jawa. “Dari 100 kepala keluarga transmigran, biasanya ada 10 kepala keluarga yang balik ke Jawa,” ungkapnya.
Lebih lanjut diungkapkan dari penempatan transmigran di sebuah daerah membuat daerah itu bisa berkembang. Diakui ketika pertama kali tiba di Jonggon Jaya, listrik belum ada. Sekarang listrik sudah ada dan jalan-jalan dari rumahnya ke Kota Tenggarong sudah diaspal sehingga tidak susah lagi kalau mau belanja atau jalan-jalan ke Kota Tenggarong, Samarinda bahkan Balikpapan. “Dari semua itu program transmigrasi mampu menciptakan peluang lapangan kerja dan ekonomi baru,” ujarnya.
Ardi Winangun
Penulis adalah Seorang Wartawan - See more at: http://suar.okezone.com/read/2012/10/31/58/711457/mengubah-hidup-dengan-transmigrasi#sthash.kP2AyYeY.dpuf
Suparnen
dan Katmi merasa hidup di Desa Pager Lor, Kecamatan Sudimoro, Kabupaten
Pacitan, Jawa Timur, tidak memberi harapan. Pulau Jawa yang dirasa
sudah padat penduduk dianggap sudah tidak mampu memberi penghidupan yang
layak. Untuk menyiasati yang demikian, pada tahun 1982, mereka
memutuskan untuk ikut program transmigrasi.
Mereka ikut program pemerintah itu dengan alasan mendukung program penyebaran penduduk, penghasilan di tempat asal tidak mencukupi, serta di daerah tujuan transmigrasi masih banyak tanah-tanah yang luas dan belum digarap, ini merupakan sebuah peluang. Akhirnya ia bersama dengan 50 kepala keluarga lainnya, ikut program transmigrasi yang diadakan oleh pemerintah dengan penempatan di Desa Jonggon Jaya, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai (belum pemekaran), Kalimantan Timur.
Ketika tiba di Jonggon Jaya, keadaan desa itu masih dalam proses pembukaan lahan, pohon-pohon hutan masih ditebangi. Selepas penebangan hutan, lahan-lahan yang akan dicetak menjadi sawah itu masih berupa tanah lapang dengan timbunan potongan batang dan ranting yang masih berserakan. Di lahan bekas hutan itulah para transmigran dijatah 1 ha untuk sawah dan 0,5 ha untuk bangunan rumah dan pekarangan. Lahan hasil pembagian itu oleh para transmigran dicetak menjadi sawah sendiri.
Meski mencetak sawah sendiri hal demikian tidak menjadi masalah bagi para transmigran, dengan suka rela mereka mengerjakan demi masa depannya. Begitu lahan sudah menjadi sawah, para transmigran menanami dengan padi jenis IR64 dan jenis lain. Panen padi di Jonggon Jaya hasilnya bervariasi, sebab sawah di desa itu bukan sawah dengan sistem pengairan irigasi, seperti di Jawa atau Bali, namun sawah dengan pengairan tergantung pada curah hujan atau dikenal dengan sebutan sawah tadah hujan. Jadi tergantung pada iklim yang ada. Bila dalam keadaan normal, luas sawah 1 ha menghasilkan panen 4 ton. Pada saat itu hasil panen tidak dijual perkilo namun perkuintal. Satu kuintal harganya Rp450.000, jadi sekali panen menghasilkan Rp4,5 juta. Itu bila panen dalam keadaan normal. Namun bila dalam keadaan tidak normal, dengan kendala seperti banjir, curah hujan rendah, diserang hama tikus atau wereng, hasilnya hanya 2 ton, 1 ton, bahkan kurang dari 1 ton.
Untuk mengatasi yang demikian, Suparnen melakukan kegiatan beternak. Ternak yang diusahakan itu seperti ternak sapi, itik, dan ayam. Dalam beternak sapi, ia menggunakan sistem gaduh, yakni memelihara ternak orang kemudian bila ternak itu beranak maka anaknya dibagi. Dari sistem gaduh ini sungguh sangat luar biasa, ia bisa memiliki sapi hingga 5 ekor. Harga jual per ekor Rp5 juta hingga Rp10 juta. Dari penjualan sapi inilah Suparnen bisa membangun atau memperbaiki rumah pemberian pemerintah.
Bila dari hasil sawah cukup untuk makan sehari-hari, maka dari beternak sapi, rumah Suparnen bisa lebih mentereng. Tak hanya itu Suparnen pun juga mempunyai peternakan ayam, jumlah ayamnya mencapai 30 ekor dan itiknya juga 30 ekor. Ia pun juga berkebun dari sisa lahan yang ada dengan menanami sayur-sayuran.
Saat berangkat dari Pacitan, Suparnen dan Katmi hanya memiliki satu anak, namanya Suroso, setiba di Jonggon Jaya, anaknya bertambah 2, yakni Samsul Arifin dan Rudi Santoso. Dari penghasilan pertanian dan peternakan yang digeluti, Suparnen mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Suroso sekolah di SD 028 Loa Kulu, SMP 03 Loa Kulu, SMKN 6 Samarinda, dan kuliah di Universitas Kutai Kartanegara Jurusan Geologi dan Pertambangan. Di kalangan mahasiswa di Tenggarong, Suroso merupakan sosok yang popular, sebab ia pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Tenggarong. Sedang Samsul Arifin sekolah di SD 028 Loa Kulu, SMP 03 Loa Kulu, dan SMK 2 Tenggarong. Saat ini Samsul Arifin sudah menikah dan bekerja di perusahaan pembiayaan. Sedang Rudi Santoso sekolah di SD 02 Loa Kulu, SMP 03 Loa Kulu, dan saat ini masih sekolah di SMK Geologi dan Pertambangan Tenggarong.
Setahun yang lalu Suparnen meninggal dunia, sekarang istrinya, Katmi tinggal bersama Suroso dan Rudi Santoso. Suroso-lah yang saat ini meneruskan dan mengembangkan usaha orangtuanya. Menurut Suroso saat ini penduduk di Jonggon Jaya mulai beralih dari menanam padi di sawah ke perkebunan sawit dan karet. Perkebunan karet dan sawit dibuka dengan tidak mengganti sawah menjadi kebun sawit dan karet, namun dengan memperluas lahan atau membeli lahan baru. Dikatakan oleh Suroso bahwa keluarganya sekarang memiliki 1 ha kebun sawit. Dari perkebunan ini ia bisa memanen 2 minggu sekali dengan sekali panen memperoleh 4 kuintal. Perkilonya Rp600. Jadi sekali panen mendapat Rp240.000.
Suroso sendiri saat kuliah sudah mulai berwiraswata seperti mendirikan usaha pengetikan dan internet di Kota Tenggarong bahkan pernah berjualan minuman es campur di taman di samping Sungai Mahakam. “Sekarang mulai mengembangkan usaha menjadi kontraktor kontruksi, walau disebutkan masih kecil-kecilan,” ujarnya.
Sebagai anak seorang transmigran, Suroso menyebut ada 2 hal penting dalam transmigrasi. Pertama, secara umum transmigrasi memberi dan mempunyai peluang untuk mengubah perekonomian masyarakat. Pemerintah telah menyediakan lahan kepada para transmigran sebagai peluang untuk mengubah kehidupan yang ada. Kedua, sukses atau tidaknya transmigran, semuanya juga tergantung kepada individu mereka. Program transmigrasi bukan program sim salabim atau mengubah sesuatu dengan cepat. Mereka, para transmigran, harus bekerja keras dan inovatif. “Orangtua saya dulu sebagai petani dan karena berada di sawah maka harus bekerja keras,” ujarnya. Diakui bila tidak mau bekerja keras maka transmigran itu akan gagal bertahan dan selanjutnya kembali ke Jawa. “Dari 100 kepala keluarga transmigran, biasanya ada 10 kepala keluarga yang balik ke Jawa,” ungkapnya.
Lebih lanjut diungkapkan dari penempatan transmigran di sebuah daerah membuat daerah itu bisa berkembang. Diakui ketika pertama kali tiba di Jonggon Jaya, listrik belum ada. Sekarang listrik sudah ada dan jalan-jalan dari rumahnya ke Kota Tenggarong sudah diaspal sehingga tidak susah lagi kalau mau belanja atau jalan-jalan ke Kota Tenggarong, Samarinda bahkan Balikpapan. “Dari semua itu program transmigrasi mampu menciptakan peluang lapangan kerja dan ekonomi baru,” ujarnya.
Ardi Winangun
Penulis adalah Seorang Wartawan - See more at: http://suar.okezone.com/read/2012/10/31/58/711457/mengubah-hidup-dengan-transmigrasi#sthash.o1b7VhKN.dpuf
Mereka ikut program pemerintah itu dengan alasan mendukung program penyebaran penduduk, penghasilan di tempat asal tidak mencukupi, serta di daerah tujuan transmigrasi masih banyak tanah-tanah yang luas dan belum digarap, ini merupakan sebuah peluang. Akhirnya ia bersama dengan 50 kepala keluarga lainnya, ikut program transmigrasi yang diadakan oleh pemerintah dengan penempatan di Desa Jonggon Jaya, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai (belum pemekaran), Kalimantan Timur.
Ketika tiba di Jonggon Jaya, keadaan desa itu masih dalam proses pembukaan lahan, pohon-pohon hutan masih ditebangi. Selepas penebangan hutan, lahan-lahan yang akan dicetak menjadi sawah itu masih berupa tanah lapang dengan timbunan potongan batang dan ranting yang masih berserakan. Di lahan bekas hutan itulah para transmigran dijatah 1 ha untuk sawah dan 0,5 ha untuk bangunan rumah dan pekarangan. Lahan hasil pembagian itu oleh para transmigran dicetak menjadi sawah sendiri.
Meski mencetak sawah sendiri hal demikian tidak menjadi masalah bagi para transmigran, dengan suka rela mereka mengerjakan demi masa depannya. Begitu lahan sudah menjadi sawah, para transmigran menanami dengan padi jenis IR64 dan jenis lain. Panen padi di Jonggon Jaya hasilnya bervariasi, sebab sawah di desa itu bukan sawah dengan sistem pengairan irigasi, seperti di Jawa atau Bali, namun sawah dengan pengairan tergantung pada curah hujan atau dikenal dengan sebutan sawah tadah hujan. Jadi tergantung pada iklim yang ada. Bila dalam keadaan normal, luas sawah 1 ha menghasilkan panen 4 ton. Pada saat itu hasil panen tidak dijual perkilo namun perkuintal. Satu kuintal harganya Rp450.000, jadi sekali panen menghasilkan Rp4,5 juta. Itu bila panen dalam keadaan normal. Namun bila dalam keadaan tidak normal, dengan kendala seperti banjir, curah hujan rendah, diserang hama tikus atau wereng, hasilnya hanya 2 ton, 1 ton, bahkan kurang dari 1 ton.
Untuk mengatasi yang demikian, Suparnen melakukan kegiatan beternak. Ternak yang diusahakan itu seperti ternak sapi, itik, dan ayam. Dalam beternak sapi, ia menggunakan sistem gaduh, yakni memelihara ternak orang kemudian bila ternak itu beranak maka anaknya dibagi. Dari sistem gaduh ini sungguh sangat luar biasa, ia bisa memiliki sapi hingga 5 ekor. Harga jual per ekor Rp5 juta hingga Rp10 juta. Dari penjualan sapi inilah Suparnen bisa membangun atau memperbaiki rumah pemberian pemerintah.
Bila dari hasil sawah cukup untuk makan sehari-hari, maka dari beternak sapi, rumah Suparnen bisa lebih mentereng. Tak hanya itu Suparnen pun juga mempunyai peternakan ayam, jumlah ayamnya mencapai 30 ekor dan itiknya juga 30 ekor. Ia pun juga berkebun dari sisa lahan yang ada dengan menanami sayur-sayuran.
Saat berangkat dari Pacitan, Suparnen dan Katmi hanya memiliki satu anak, namanya Suroso, setiba di Jonggon Jaya, anaknya bertambah 2, yakni Samsul Arifin dan Rudi Santoso. Dari penghasilan pertanian dan peternakan yang digeluti, Suparnen mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Suroso sekolah di SD 028 Loa Kulu, SMP 03 Loa Kulu, SMKN 6 Samarinda, dan kuliah di Universitas Kutai Kartanegara Jurusan Geologi dan Pertambangan. Di kalangan mahasiswa di Tenggarong, Suroso merupakan sosok yang popular, sebab ia pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Tenggarong. Sedang Samsul Arifin sekolah di SD 028 Loa Kulu, SMP 03 Loa Kulu, dan SMK 2 Tenggarong. Saat ini Samsul Arifin sudah menikah dan bekerja di perusahaan pembiayaan. Sedang Rudi Santoso sekolah di SD 02 Loa Kulu, SMP 03 Loa Kulu, dan saat ini masih sekolah di SMK Geologi dan Pertambangan Tenggarong.
Setahun yang lalu Suparnen meninggal dunia, sekarang istrinya, Katmi tinggal bersama Suroso dan Rudi Santoso. Suroso-lah yang saat ini meneruskan dan mengembangkan usaha orangtuanya. Menurut Suroso saat ini penduduk di Jonggon Jaya mulai beralih dari menanam padi di sawah ke perkebunan sawit dan karet. Perkebunan karet dan sawit dibuka dengan tidak mengganti sawah menjadi kebun sawit dan karet, namun dengan memperluas lahan atau membeli lahan baru. Dikatakan oleh Suroso bahwa keluarganya sekarang memiliki 1 ha kebun sawit. Dari perkebunan ini ia bisa memanen 2 minggu sekali dengan sekali panen memperoleh 4 kuintal. Perkilonya Rp600. Jadi sekali panen mendapat Rp240.000.
Suroso sendiri saat kuliah sudah mulai berwiraswata seperti mendirikan usaha pengetikan dan internet di Kota Tenggarong bahkan pernah berjualan minuman es campur di taman di samping Sungai Mahakam. “Sekarang mulai mengembangkan usaha menjadi kontraktor kontruksi, walau disebutkan masih kecil-kecilan,” ujarnya.
Sebagai anak seorang transmigran, Suroso menyebut ada 2 hal penting dalam transmigrasi. Pertama, secara umum transmigrasi memberi dan mempunyai peluang untuk mengubah perekonomian masyarakat. Pemerintah telah menyediakan lahan kepada para transmigran sebagai peluang untuk mengubah kehidupan yang ada. Kedua, sukses atau tidaknya transmigran, semuanya juga tergantung kepada individu mereka. Program transmigrasi bukan program sim salabim atau mengubah sesuatu dengan cepat. Mereka, para transmigran, harus bekerja keras dan inovatif. “Orangtua saya dulu sebagai petani dan karena berada di sawah maka harus bekerja keras,” ujarnya. Diakui bila tidak mau bekerja keras maka transmigran itu akan gagal bertahan dan selanjutnya kembali ke Jawa. “Dari 100 kepala keluarga transmigran, biasanya ada 10 kepala keluarga yang balik ke Jawa,” ungkapnya.
Lebih lanjut diungkapkan dari penempatan transmigran di sebuah daerah membuat daerah itu bisa berkembang. Diakui ketika pertama kali tiba di Jonggon Jaya, listrik belum ada. Sekarang listrik sudah ada dan jalan-jalan dari rumahnya ke Kota Tenggarong sudah diaspal sehingga tidak susah lagi kalau mau belanja atau jalan-jalan ke Kota Tenggarong, Samarinda bahkan Balikpapan. “Dari semua itu program transmigrasi mampu menciptakan peluang lapangan kerja dan ekonomi baru,” ujarnya.
Ardi Winangun
Penulis adalah Seorang Wartawan - See more at: http://suar.okezone.com/read/2012/10/31/58/711457/mengubah-hidup-dengan-transmigrasi#sthash.o1b7VhKN.dpuf
Senin, 14 Oktober 2013
Langganan:
Postingan (Atom)